Pompongku, Penyambung Hidupku
Suara adzan Subuh terdengar
hingga ke penjuru kampung, tak terkecuali Kampung Melayu di Kampung Bugis. Alunan
merdu suara muadzin membangunkan lelaki berusia 44 tahun ini dari tidurnya yang
lelap di rumah panggung sederhananya itu. Dia bergegas menuju kamar mandi untuk
mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah salat Subuh. Tidak lupa pula ia
membangunkan anak dan istrinya untuk salat bersama. seusai salat ia tak lantas
melanjutkan tidurnya kembali, melainkan bersiap diri untuk bekerja.
Meskipun rasa kantuk masih menyergapnya, tak membuat lelaki asal Sulawesi ini menunda
pekerjaannya. Subuh-subuh sekali ia sudah harus bekerja, karena jika tidak dari
Subuh ia khawatir air laut akan surut dan ia tak akan mendapatkan penumpang.
Ya, Dia adalah Akim, lelaki
kelahiran tahun 1971. Ia merupakan anak rantauan dari Sulawesi dan mengadukan
nasibnya ke tanah Melayu, tepatnya di Kampung Bugis pada tahun 2001. Awalnya ia
tinggal bersama kakaknya yang juga merantau ke kampung ini dan bekerja di kapal
Pukat selama dua tahun. Setelah dua tahun berlalu, ia kemudian berhenti bekerja
di sana dan membeli sebuah sampan dari hasil kerjanya di kapal Pukat. Tepatnya
sejak tahun 2003 lah Pak Akim bekerja sebagai tukang sampan yang mengantarkan
orang-orang yang ingin ke seberang pulau. setelah beberapa tahun kemudian, saat
tabungannya sudah lumayan banyak ia membeli mesin dan memperbesar sampannya,
sehingga menjadi pompong yang ia gunakan sampai saat ini.
Akim berkerja mengantarkan
penumpang melalui jalur laut dengan menggunakan pompongnya. Lelaki yang
bertubuh kurus itu mengandalkan pompongnya sebagai penyambung hidupnya. Untuk
itulah ia harus rela bangun subuh-subuh dan bekerja agar setiap harinya ada
pemasukan untuk diberikan kepada anak dan istrinya.
Bapak yang memiliki 5 orang anak
ini harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Terik matahari dan curahan
hujan tak dihiraukannya demi sesuap nasi. Maklumlah, sang istri tidak bekerja
sedangkan masih ada anak yang harus di sekolahkannya. Jadi, hanya Pak Akim lah
satu-satunya harapan untuk bisa mendapatkan uang. Namun, untunglah 4 orang
anaknya sudah menikah dan tidak lagi tinggal bersamanya sehingga bebannya tidak
terlalu berat.
Topi, kaus singlet, dan celana
panjang adalah pakaian kebanggaannya saat bekerja. Dari dalam pompongnya, ia
sudah menunggu orang-orang yang minta diantarkan ke Tanjungpinang atau ke
pulau-pulau lain seperti Penyengat dan Senggarang. Dengan penuh rasa sabar ia
menunggu penumpang untuk naik ke pomponganya. Selain itu, ia juga harus
bersaing dengan para tukang pompong lainnya dalam menarik penumpang. Tak
terkecuali siang itu, saat ada penumpang yang ingin pergi ke seberang pulau,
dengan senyuman ramah ia mengajak orang tersebut untuk naik ke pompongnya,
tetapi Pak Akim harus menelan rasa ketika orang tersebut malah menaiki pompong
lain. Meskipun kesal, Pak Akim berusaha menampakkan senyum ramahnya.
Seperti yang diketahui beberapa
orang yang hidup di Tanjungpinang bermata pencaharian sebagai tukang pompong. Hal
ini dapat dilihat di sekitaran Pelantar 1, Pelantar 2, dan tak terkecuali di
dermaga Kampung Bugis. Setiap harinya dapat dilihat jajaran pompong sudah
berada di bawah dermaga dengan sang pemiliknya sedang menunggu penumpang untuk
naik. Mereka bersaing secara sehat antara satu sama lain untuk mendapakan
penumpang. Sinar matahari yang menyengat kulit tak dihiraukan para tukang
pompong tersebut, karena untuk mereka demi sesuap nasi apapun akan mereka
hadapi. Tidak hanya itu, mereka juga harus menelan rasa kecewa saat tak ada
penumpang yang naik ke pompong mereka dan malah naik ke pompong orang lain. Namun,
hal ini tidak membuat mereka patah arang, “Yah, yang penting usaha aja, dik”,
ujar Pak Akim.
Pekerjaannya ini bukanlah
pekerjaan yang langsung menghasilkan uang banyak setiap harinya. ia tidak
menentukan tarif harga pompongnya, namun ia mengatakan biasanya penumpang
memberikan Rp3000,- bahkan ada yang hanya memberikan Rp2000,-. Terkadang dari
pekerjaannya ini ia hanya mendapatkan uang sebesar Rp30.000,- atau
Rp40.000,-/hari itupun harus dipotong dengan uang untuk membeli bahan bakar
minyak pompongnya. Jadi, ia hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp20.000,-
sampai dengan Rp30.000,-/harinya. “Ya, kalau nasib lagi untung bisa dapat tujuh
puluh ribu,” ujar Pak Akim saat diwawancara siang itu, Selasa (24/3/2015).
Uang dari hasil jerih payahnya
itu ia berikan kepada sang istri untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anaknya. Anak bungsu
Pak Akim masih duduk di kelas 7 SMP Negeri 11 Kampung Bugis. Setiap harinya,
sang anak harus menempuh sekitar 200 meter untuk sampai ke sekolahnya. Pak Akim
tidak memiliki kendaraan darat, sehingga sang anak harus berjalan kaki ke
sekolah dengan uang jajan seadanya. Meskipun keempat anaknya yang lain sudah
bekerja dan menikah, Pak Akim tidak mau meminta-minta kepada mereka. Hal ini
dikarenakan kondisi anak-anaknya pun tak jauh berbeda dengannya, sehingga ia
tidak ingin menyusahkan anak-anaknya itu. Maka dari itulah Pak Akim berusaha
semampunya untuk mengumpulkan uang agar bisa terus menyekolahkan anak bungsunya
itu dan mengumpulkan uang untuk membuka usaha kecil-kecilan demi membantu
perekonomian keluarganya.
Meski peluh mengucur tubuhnya dan
sengatan sinar mentari menghitamkan kulitnya serta deras hujan mengguyur tubuhnya,
Pak Akim tak ingin menyerah. Ia ingin menyejahterakan keluarganya. “Selagi saya
mampu, akan terus saya lakukan kalau tidak anak dan istri saya mau makan apa?”
tegasnya. Wajah lelahnya tak menyurutkan semangatnya untuk bekerja, karena
menurutnya selelah apapun ia bekerja, sedikit apapun uang yang dihasilkan,
selagi itu halal dan dapat mengidupkan keluarganya, ia takkan menyerah menjadi
tulang punggung keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar