Selasa, 24 Maret 2015

Berita Feature


Pompongku, Penyambung Hidupku


Pompongku penyambung hidupku. Judul di atas tepat sekali untuk mengambarkan kehidupan yang sedang dijalani Pak Akim (44). Pak Akim berbagi kisah suka dan dukanya menjadi tukang pompong saat ditemui Selasa, (24/3) lalu di dermaga Kampung Bugis. Pekerjaannya ini sudah dilakukannya selama 13 tahun. Bapak dari 5 orang anak ini tinggal di Kampung Melayu, Kampung Bugis Tanjungpinang.
Suara adzan Subuh terdengar hingga ke penjuru kampung, tak terkecuali Kampung Melayu di Kampung Bugis. Alunan merdu suara muadzin membangunkan lelaki berusia 44 tahun ini dari tidurnya yang lelap di rumah panggung sederhananya itu. Dia bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah salat Subuh. Tidak lupa pula ia membangunkan anak dan istrinya untuk salat bersama. seusai salat ia tak lantas melanjutkan tidurnya kembali, melainkan bersiap diri untuk bekerja.
Meskipun rasa kantuk masih menyergapnya, tak membuat lelaki asal Sulawesi ini menunda pekerjaannya. Subuh-subuh sekali ia sudah harus bekerja, karena jika tidak dari Subuh ia khawatir air laut akan surut dan ia tak akan mendapatkan penumpang.
Ya, Dia adalah Akim, lelaki kelahiran tahun 1971. Ia merupakan anak rantauan dari Sulawesi dan mengadukan nasibnya ke tanah Melayu, tepatnya di Kampung Bugis pada tahun 2001. Awalnya ia tinggal bersama kakaknya yang juga merantau ke kampung ini dan bekerja di kapal Pukat selama dua tahun. Setelah dua tahun berlalu, ia kemudian berhenti bekerja di sana dan membeli sebuah sampan dari hasil kerjanya di kapal Pukat. Tepatnya sejak tahun 2003 lah Pak Akim bekerja sebagai tukang sampan yang mengantarkan orang-orang yang ingin ke seberang pulau. setelah beberapa tahun kemudian, saat tabungannya sudah lumayan banyak ia membeli mesin dan memperbesar sampannya, sehingga menjadi pompong yang ia gunakan sampai saat ini.
Akim berkerja mengantarkan penumpang melalui jalur laut dengan menggunakan pompongnya. Lelaki yang bertubuh kurus itu mengandalkan pompongnya sebagai penyambung hidupnya. Untuk itulah ia harus rela bangun subuh-subuh dan bekerja agar setiap harinya ada pemasukan untuk diberikan kepada anak dan istrinya.
Bapak yang memiliki 5 orang anak ini harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Terik matahari dan curahan hujan tak dihiraukannya demi sesuap nasi. Maklumlah, sang istri tidak bekerja sedangkan masih ada anak yang harus di sekolahkannya. Jadi, hanya Pak Akim lah satu-satunya harapan untuk bisa mendapatkan uang. Namun, untunglah 4 orang anaknya sudah menikah dan tidak lagi tinggal bersamanya sehingga bebannya tidak terlalu berat.
Topi, kaus singlet, dan celana panjang adalah pakaian kebanggaannya saat bekerja. Dari dalam pompongnya, ia sudah menunggu orang-orang yang minta diantarkan ke Tanjungpinang atau ke pulau-pulau lain seperti Penyengat dan Senggarang. Dengan penuh rasa sabar ia menunggu penumpang untuk naik ke pomponganya. Selain itu, ia juga harus bersaing dengan para tukang pompong lainnya dalam menarik penumpang. Tak terkecuali siang itu, saat ada penumpang yang ingin pergi ke seberang pulau, dengan senyuman ramah ia mengajak orang tersebut untuk naik ke pompongnya, tetapi Pak Akim harus menelan rasa ketika orang tersebut malah menaiki pompong lain. Meskipun kesal, Pak Akim berusaha menampakkan senyum ramahnya.
Seperti yang diketahui beberapa orang yang hidup di Tanjungpinang bermata pencaharian sebagai tukang pompong. Hal ini dapat dilihat di sekitaran Pelantar 1, Pelantar 2, dan tak terkecuali di dermaga Kampung Bugis. Setiap harinya dapat dilihat jajaran pompong sudah berada di bawah dermaga dengan sang pemiliknya sedang menunggu penumpang untuk naik. Mereka bersaing secara sehat antara satu sama lain untuk mendapakan penumpang. Sinar matahari yang menyengat kulit tak dihiraukan para tukang pompong tersebut, karena untuk mereka demi sesuap nasi apapun akan mereka hadapi. Tidak hanya itu, mereka juga harus menelan rasa kecewa saat tak ada penumpang yang naik ke pompong mereka dan malah naik ke pompong orang lain. Namun, hal ini tidak membuat mereka patah arang, “Yah, yang penting usaha aja, dik”, ujar Pak Akim.
Pekerjaannya ini bukanlah pekerjaan yang langsung menghasilkan uang banyak setiap harinya. ia tidak menentukan tarif harga pompongnya, namun ia mengatakan biasanya penumpang memberikan Rp3000,- bahkan ada yang hanya memberikan Rp2000,-. Terkadang dari pekerjaannya ini ia hanya mendapatkan uang sebesar Rp30.000,- atau Rp40.000,-/hari itupun harus dipotong dengan uang untuk membeli bahan bakar minyak pompongnya. Jadi, ia hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp20.000,- sampai dengan Rp30.000,-/harinya. “Ya, kalau nasib lagi untung bisa dapat tujuh puluh ribu,” ujar Pak Akim saat diwawancara siang itu, Selasa (24/3/2015).
Uang dari hasil jerih payahnya itu ia berikan kepada sang istri untuk kebutuhan sehari-hari  dan kebutuhan sekolah anaknya. Anak bungsu Pak Akim masih duduk di kelas 7 SMP Negeri 11 Kampung Bugis. Setiap harinya, sang anak harus menempuh sekitar 200 meter untuk sampai ke sekolahnya. Pak Akim tidak memiliki kendaraan darat, sehingga sang anak harus berjalan kaki ke sekolah dengan uang jajan seadanya. Meskipun keempat anaknya yang lain sudah bekerja dan menikah, Pak Akim tidak mau meminta-minta kepada mereka. Hal ini dikarenakan kondisi anak-anaknya pun tak jauh berbeda dengannya, sehingga ia tidak ingin menyusahkan anak-anaknya itu. Maka dari itulah Pak Akim berusaha semampunya untuk mengumpulkan uang agar bisa terus menyekolahkan anak bungsunya itu dan mengumpulkan uang untuk membuka usaha kecil-kecilan demi membantu perekonomian keluarganya.
Meski peluh mengucur tubuhnya dan sengatan sinar mentari menghitamkan kulitnya serta deras hujan mengguyur tubuhnya, Pak Akim tak ingin menyerah. Ia ingin menyejahterakan keluarganya. “Selagi saya mampu, akan terus saya lakukan kalau tidak anak dan istri saya mau makan apa?” tegasnya. Wajah lelahnya tak menyurutkan semangatnya untuk bekerja, karena menurutnya selelah apapun ia bekerja, sedikit apapun uang yang dihasilkan, selagi itu halal dan dapat mengidupkan keluarganya, ia takkan menyerah menjadi tulang punggung keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar